Istilah pribui dan non
pribumi seringkali kita dengar dan sudah tidak asing lagi ditelinga kita.
Istilah tersebut memang sudah ada sejak lama, bahkan ketika negara kita masih
dalam status terjajah. Istilah tersebut awalnya adalah untuk membedakan mana
kaum penjajah dan kaum yang terjajah. Pada jaman dahulu saat perang berlangsung
istilah tersebut sangat wajar untuk menggambarkan bahwa ada dua kubu yang ada
di dalam negara kita.
Bangsa kita dikatakan
sebagai kaum pribumi, yaitu penduduk lokal atau asli penduduk atau warga negara
Indonesia. Kaum pribumi yang dapat menjelaskan bahwa kaum tersebut adalah kaum
yang pada saat itu terjajah, melakukan berbagai macam gerakan guna membantu
menyelamatkan bangsanya dari jajahan kaum asing atau yang dikatakan kaum non
pribumi.
Pada saat itu terjadi
jurang pemisah yang cukup dalam antara kaum pribumi dan non pribumi yaitu kaum
yang menjajah bangsa kita. Lebih luasnya hal tersebut secara nyata terjadi
terus-menerus selama penjajahan masanya belum usai. Sampai pada masanya telah
usai penjajahan di Indonesiapun berakhir, berakhir pula sebutan tersebut untuk
kaum penjajah.
Namun pada mulanya, hal
yang dibicarakan saat ini mengenai pribumi dan non pribumi bukan lagi kaum
panjajah yang dimaksud pada jaman dahulu saat perang berlangsung. Kaum pribumi
memang masih menunjuk pada penduduk asli atau penduduk lokal bangsa Indonesia.
Gantinya untuk kaum non pribumi menunjuk pada kaum atau bangsa Tionghoa (etnis
cina) yang tinggal atau berada di Indonesia.
Mengapa demikian?
Sebutan ini sudah cukup lama ada dan hingga kini ada. Pada mulanya kaum
tionghoa yang ada di Indonesia dinilai kurang membaur dan pada masa
pemerintahan Soeharto dinilai mereka banyak menguasai sistem ekonomi di
Indonesia. Banyak dari mereka yang menggarap beberapa perusahaan yang ada di
Indonesia. Ketika sudah menjadi kelas menengah keatas banyak yang dinilai
tingkah lakunya kurang begitu baik pada kaum pribumi. Terkesan
mengkotak-kotakan.
Namun sebaliknya pula,
dari kaum pribumi pun melakukan hal yang sama. Bahkan sebelum adanya tindakan
pada masa pemerintahan Gusdur yang membolehkan kaum tionghoa untuk merayakan
hari raya kepercayaannya dan budayanya kaum tionghoa sebenarnya juga sangat
disingkirkan.
Pada jaman sebelumnya
pun banyak sekali yang melakukan penganiayaan dan penjarahan terhadap kaum
mereka yang dibilang atau dicap sebagai non pribumi. Entah dari mana yang
salah, namun sudah pasti dari kejadian terdahulu ada beberapa pihak yang memang
sengaja memanfaatkan situasi tersebut.
Bagi saya hal ini
bukanlah yang seharusnya terjadi, pada masa kini memang hal tersebut sudah
tidak begitu mencolok. Sudah banyak perbaikan hubungan antara kaum pribumi dan
non pribumi yang dimaksud tersebut. Pasalnya mereka sudah berpikir lebih cerdas
dan luas serta sudah berpikir secara modern juga.
Penduduk lokal atau
asli Indonesia memang benar ada, buktinya adalah bagaimana Indonesia terbagi
atas beberapa suku yang ada di beberapa kepulauan yang ada di Indonesia. Namun
bukan berarti etnis tionghoa bukan merupakan penduduk Indonesia juga. Memang asal
mereka buka dari bagian negara kita, bukan penduduk salah satu suku yang ada di
Indonesia. Namun mereka sudah mendeklarasian dirinya menjadi bagian dan menjadi
warga negara Indonesia. Hal tersebut sudahlah cukup untuk membuktikan bahwa
mereka benar ingin menjadi bagian dari Indonesia. Tidak lagi masanya sebenarnya
menyebut-nyebut ada bagian atau group pribumi dan non pribumi.
Siapakah Pribumi dan
Non-pribumi
Dari KBBI,
pribumi adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan.
Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk yang bukan
penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti penduduk yang
asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara tersebut
berada. Jadi, anak dari orang tua yang lahir dan berkembang di Indonesia adalah
orang pribumi, meskipun sang kakek-nenek adalah orang asing.
Namun
pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai istilah pribumi dan
non-pribumi adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang
berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk
Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih),
maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa
generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen
masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia
berdasarkan warna kulit mereka.
Selain warna
kulit, sebagian besar masyarakat mendefinisikan sendiri (melalui informasi
luar) berdasarkan budaya dan agama. Sehingga jika penduduk Indonesia
keturunan Tionghoa dianggap sebagai non pribumi, maka penduduk Indonesia
keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap sebagai pribumi.
“Embrio” Pribumi dan Non-pribumi
Golongan
pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar
(diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang
sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan
otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di
zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara
berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat
pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas
kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas
rendah (“kasta sudra”).
Setelah
merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll)
berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa
Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat,
maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan
neo-imperialisme. Bung Karno telah
meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan
tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa
dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu
beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan
superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para
pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.
Setelah
pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui
Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali
“terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank
Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan
golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar
biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan
terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang
kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan
oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima
ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan
asing dan segelintir penghianat bangsa.
Inilah
mengapa, diera orde baru, konflik horizontal antara penduduk miskin
(disebut dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli
sebagai non pribumi) berkembang dan namun erpendam. Kebencian diskriminasi ini
akhirnya pecah di tahun 1998.
Namun sangat disayangkan, hanya segelintir kelompok si kaya – “non-pribumi”
yang kena getahnya. Massa kepalang berpikiran semua orang keturunan adalah
non-pribumi, sehingga gerakan mereka ibarat “menembak burung di angkasa
raya, namun sapi di sawah yang mati”. Burung (penguasa, penghianat,
si-kaya) masih beterbangan di angkasa Indonesia, Singapura, dan
Amerika. Hingga saat ini, pemerintah hanya dapat menonton “burung-burung”
tersebut beterbangan bebas……Yang tewas adalah rakyat miskin dan jelata.
Pribumi dan Non-pribumi Vs Patriot dan Penghianat
Sebagai
warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini.
Kita wajib menyadarkan sesama kita – bangsa kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi
bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan
pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, pemiskinan, lunturnya
nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman hegomoni asing dalam bentuk ekonomi,
politik, pertahanan dan multi nasional company. Perjuangan kita
adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Karena
istilah pribumi dan non-pribumi diciptakan oleh penjajah dan penguasa yang kejam, sudah saatnya kita harus
meninggalkan istilah tersebut. Kekuatan rakyat harus menciptakan sendiri
istilah yang baru, yakni “patriot” dan “penghianat”. Seorang patriot adalah
yang memperjuangkan negara dan tanah airnya demi kesejahteraan dan kemandirian
bangsa. Untuk itu kita dukung perjuangan para patriot tersebut saat ini.
Sedangkan golongan kedua adalah penghianat, mereka yang merusak bangsa kita
demi kepentingan pribadi ataupun golongan dengan menghancurkan kepentingan
bangsa dan negara. Mereka yang mengobral aset bangsa, kebijakan
pro-konglomerasi, dan memakan uang rakyat serta membangun dinasti keluarga di
pemerintahan, legislatif maupun penegak hukum. Kita perlu memata-matai tindak
tanduk mereka, dan memperjuangkan hukum untuk mengadili para penghianat
tersebut.
Tentunya
gerakan reformasi rakyat untuk melawan penghianat dan penjajah baru ini
bukanlah dengan revolusi berdarah, tapi dapat dilakukan dengan reformasi
rakyat terutama dari pemimpin pemerintah, penegak hukum, serta mereformasi
badan legislatif yang masih lemah. Dan tidak kalah penting adalah sistem
edukasi di lembaga pendidikan. Untuk itu, diharapkan para tokoh bangsa
turut mengawasi para penguasa di negeri ini, serta edukasi masyarakat untuk
memilih pemimpin yang patriot, bukan pemimpin sekadar populer.
Berakhirnya Diskriminasi Secara Konstitusi
Setelah era
reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia berusaha mengangkat kembali kekuatan
persatuan dengan menghilangkan diskriminasi perusak bangsa. Reformasi birokrasi
yang menghasilkan sedikit perubahan dalam mengurangi praktik pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan,
etnis, dan agama. Maka disusunlah UU Kewarganegaran serta menghilangkan
secara hukum diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan etnis minoritas di era
Gusdur.
Setelah
berlakunya UU 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,maka setiap manusia yang
lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang
embel-embel pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar
belakang etnis. Yang diberlakukan saat ini adalah warga negara.
Ada beberapa
kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006 (diambil sebagian)
adalah:
·
Seorang yang
lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah
WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
·
anak yang
lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas
status kewarganegaraan ayah dan ibunya
·
Orang
asing yang telah berjasa kepada negara
Republik Indonesia atau dengan alasan
kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan
pertimbangan DPR RI
#dari berbagai sumber