Gunadarma BAAK News

Minggu, 19 Oktober 2014

JANJI SANG RESTORAN CEPAT SAJI

McDonalds menjadi salah satu usaha makanan cepat saji di Amerika Serikat yang meyajikan menu makanan halal. Menu makanan halal itu sendiri dibuat di beberapa cabang McDonalds di Amerika Serikat dimana daerah tersebut memiliki populasi atau jumlah penduduk muslim yang tinggi. Daerah tersebut antara lain adalah East Dearborn, Mich. Namun terjadi gugatan kontroversial pada restoran cepat saji yang satu ini. Pada tahun 2013 yang lalu McDonlads di dua cabang tersebut akhirnya menarik kembali menu makanan halal yang sebelumnya mereka sajikan.

Gugatan tersebut menyatakan bahwa sebenarnya McDonlads telah menyajikan makanan yang tidak halal namun diiklankan menjadi makanan halal dalam menunya. Hal ini terindikasi dari adanya perbedaan pendapat atau pedoman dari arti kata makanan halal itu sendiri. Laporan yang dilayangkan sendiri oleh konsumen McDonlads yaitu Ahmed. Ahmed dibantu oleh pengacaranya mengatakan bahwa standar makanan halal menurut hukum Islam adalah makanan yang disiapkan sesuai dengan pedoman Islam, seperti membaca doa saat hewan dipotong.

Dipandang dari segi etika bisnis kasus seperti ini memang tergolong langka dan sulit penyelesaiannya. Keputusan McDonalds untuk menarik kembali menu makanan halal mereka dan fokus terhadap menu inti juga merupakan keputusan yang sulit untuk dinilai apakah baik atau buruk. Sebagian masyarakat di daerah tersebut kecewa, karena dengan demikian maka McDonlads dinilai tidak dapat mengusahakan apa yang diinginkan oleh mayoritas masyarakat di daerah tersebut. Namun sebagian masyarakat lagi menilai bahwa itu adalah keputusan yang tepat. Hal ini dikarenakan apabila McDonlads sendiri tidak bisa menjamin bahwa makanan tersebut halal, ada baiknya pihak McDonalds sendiri tidak menyajikan menu makanan tersebut.

Dipandang dari segi tata cara hidup, kebiasaan hidup, dan nilai-nilai serta aturan hidup yang ada di dalam masyarakat daerah tersebut memang apa yang dilakukan restoran cepat saji tersebut telah sangat bertentangan. Dengan mayoritas masyarakat yang menganut agama Muslim, maka sudah dipastikan bahwa mereka akan kritis ketika sudah menyangkut persoalan makanan. Apalagi makanan adalah salah satu hal yang utama dan pokok dalam kehidupan mereka. Halal dan tidaknya makanan tersebut kemudian menjadi salah satu fokus utama dari masyarakat tersebut.

Pihak restoran sendiri juga tidak bisa menentang hal tersebut. Karena hal ini bukan lagi hanya menyangkut aturan umum masyarakat atau budaya atau peraturan pemerintah. Namun lebih dalam lagi hal ini adalah menyangkut persoalan aturan hidup beragama seseorang. Untuk menghidari hal-hal seperti ini lagi sebaiknya setiap restoran siap saji yang ada memiliki standar atau cap khusus makanan halal. Guna menyeragamkan standar menu halal untuk masyarakat itu sendiri. Layaknya si Indonesia stemple makanan halal sudah ada uji dan standarisasinya tersendiri.

Secara etika bisnis itu sendiri restoran cepat saji tersebut sudah jadi melanggar atau berpotensi untuk melanggarnya. Hal ini dikarenakan bahwa etika bisnis erat kaitannya dengan apa yang harus dan tidak boleh dilakukan di dalam suatu daerah dengan jenis masyarakat tertentu, maka sudah seharusnya apabila restoran cepat saji tersebut ingin membukan usaha di daerah tersebut mengikuti kebiasaan, adat istiadat maupun nilai dasar yang ada didalam masyarakat tersebut.

Reaksi kritis yang diajukan oleh konsumen restoran cepat saji tersebut tidaklah salah. Bahkan menurut hukum dapat dituntut jika benar nyata apa yang dilakukannya. Kasus ini memang dimenangkan oleh pihak konsumen itu sendiri. Pihak restoran cepat saji tersebut kemungkinan besar merasa bahwa memang benar belum ada jaminan bahwa menu makanan halal yang dia sajikan adalah 100% halal sesuai menurut aturan ajaran agama Islam. Maka terkait dengan etika bisnis, hal semacam ini adalah rasional, terlebih jika dipandang dari segi kebutuhan masyarakatnya yang mayoritas tersebut.

Sumber :   www.tempo.co

Sabtu, 11 Oktober 2014

MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN

NAMA KELOMPOK :
1.      ASTUTI DIAH PERTIWI (18211124)
2.      HEDWIG AJENG GRAHANI (18211164)
3.      PUTRI EKA MARDIATI (15211643)
4.      RINI RISNAWATI (16211237)
5.      ROPINGAH (16211457)
KELAS : 4EA01


A.    PENGERTIAN MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Model adalah percontohan yang mengandung unsur yang bersifat penyederhanaanuntuk dapat ditiru. Sedangkan pengambilan keputusaan adalah suatu proses berurutan yang memerlukan penggunaan model secara cepat dan benar.
Menurut Olaf Hermer model adalah abstraksi, elemen-elemen tertentu dari situasi yang mungkin dapat membantu seseorang menganalisis keputusan dan memehaminya dengan lebih baik.
B.     PENTINGNYA MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN
1.      Untuk mengetahui apakah hubungan yang bersifat tunggal dari unsu-unsur itu ada relevansinya terhadap masalah yang akan dipecahkan diselesaikan itu.
2.      Untuk memperjelas (secara eksplisit) mengenai hubungan signifikan diantara unsur-unsur itu.
3.      Untuk merumuskan hipotesis mengenai hakikat hubungan-hubungan antar variable.
4.      Untuk memberikan pengelolaan terhadap pengambilan keputusan.
C.    KLASIFIKASI MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Klasifikasi model pengambilan keputusan dapat digolongkan berdasarkan :
*      Tujuannya: model latihan, model keputusan, model perencanaan. Pengertian tujuan disini adalah dalam arti purpose.
*      Bidang penerapannya (field of application) : model tentang transportasi, model tentang persediaan barang, model tentang pendidikan, model tentang kesehatan,dll.
*      Tingkatannya (level) : model tingkat manajemen kantor, tingkat kebijakan nasional, kebijakan regional, kebijakan lokal,dll.
*      Ciri waktunya (time character) : model statis dan model dinamis.
*      Bentuknya (form) : model dua sisi, satu sisi, tiga dimensi, model konflik, dan non konflik.
*      Pengmbangan analitik (analyticdevelopment) : tingkat dimana matematika perlu digunakan,dll.
*      Kompleksitas (complexity): model sangat terinci, model sederhana, model global, model keseluruhan, dll.
*      Formalisasi (formalization): modelmengenai tingkat dimana interaksi itu telah direncanakan dan hasilnya sudah dapat diramalkan, namun secara formal perlu dibicarakan juga.
Selanjutnya Quade membedakan model kedalam dua tipe, yaitu :
1.      Model Kuantitatif
Model kuantitatif (model matematika) adalah serangkaian asumsi yang tepat yang dinyatakan dalam serangkaian hubungan matematis yang pasti, ini dapat berupa persamaan atau analisis lainnya, atau merupakan instruksi bagi komputer yang berupa program-program untuk  komputer. Ada pun ciri-ciri pokok model ini ditetapkan secara lengkap melalui asumsi-asumsi, dan kesimpulan berupa konsekuensi logis dari asumsi-asumsi tanpa menggunakan (praktik) atau permasalahan yang dibuat model untuk pemecahannya.
Contoh : Indikator dari pemerataan dan perluasan pendidikan yaitu APK (Angka Partisipasi Kotor) dan APM ( Angka Partisipasi Murni) untuk menentukan APM tersebut dapat digunakan rumus sebagai berikut :
APM = Usia 7 – 12 tahun yang ditampung di sekolah   × 100%
                                    Usia 7 – 12 tahun seluruh siswa
2.      Model Kualitatif

Model kualitatif didasarkan atas asumsi-asumsi yang ketetapannya agak kurang jika dibandingkan dengan model kuantitatif dan ciri-cirinya digambarkan melalui kombinasi dari deduksi-deduksi asumsi-asumsi tersebut dan dengan pertimbangan yang lebih bersifat subjektif mengenai proses atau masalah yang pemecahannya dibuatkan model.