Gunadarma BAAK News

Sabtu, 04 Mei 2013

pribumi dan non pribumi


Istilah pribui dan non pribumi seringkali kita dengar dan sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Istilah tersebut memang sudah ada sejak lama, bahkan ketika negara kita masih dalam status terjajah. Istilah tersebut awalnya adalah untuk membedakan mana kaum penjajah dan kaum yang terjajah. Pada jaman dahulu saat perang berlangsung istilah tersebut sangat wajar untuk menggambarkan bahwa ada dua kubu yang ada di dalam negara kita.
Bangsa kita dikatakan sebagai kaum pribumi, yaitu penduduk lokal atau asli penduduk atau warga negara Indonesia. Kaum pribumi yang dapat menjelaskan bahwa kaum tersebut adalah kaum yang pada saat itu terjajah, melakukan berbagai macam gerakan guna membantu menyelamatkan bangsanya dari jajahan kaum asing atau yang dikatakan kaum non pribumi.
Pada saat itu terjadi jurang pemisah yang cukup dalam antara kaum pribumi dan non pribumi yaitu kaum yang menjajah bangsa kita. Lebih luasnya hal tersebut secara nyata terjadi terus-menerus selama penjajahan masanya belum usai. Sampai pada masanya telah usai penjajahan di Indonesiapun berakhir, berakhir pula sebutan tersebut untuk kaum penjajah.
Namun pada mulanya, hal yang dibicarakan saat ini mengenai pribumi dan non pribumi bukan lagi kaum panjajah yang dimaksud pada jaman dahulu saat perang berlangsung. Kaum pribumi memang masih menunjuk pada penduduk asli atau penduduk lokal bangsa Indonesia. Gantinya untuk kaum non pribumi menunjuk pada kaum atau bangsa Tionghoa (etnis cina) yang tinggal atau berada di Indonesia.
Mengapa demikian? Sebutan ini sudah cukup lama ada dan hingga kini ada. Pada mulanya kaum tionghoa yang ada di Indonesia dinilai kurang membaur dan pada masa pemerintahan Soeharto dinilai mereka banyak menguasai sistem ekonomi di Indonesia. Banyak dari mereka yang menggarap beberapa perusahaan yang ada di Indonesia. Ketika sudah menjadi kelas menengah keatas banyak yang dinilai tingkah lakunya kurang begitu baik pada kaum pribumi. Terkesan mengkotak-kotakan.
Namun sebaliknya pula, dari kaum pribumi pun melakukan hal yang sama. Bahkan sebelum adanya tindakan pada masa pemerintahan Gusdur yang membolehkan kaum tionghoa untuk merayakan hari raya kepercayaannya dan budayanya kaum tionghoa sebenarnya juga sangat disingkirkan.
Pada jaman sebelumnya pun banyak sekali yang melakukan penganiayaan dan penjarahan terhadap kaum mereka yang dibilang atau dicap sebagai non pribumi. Entah dari mana yang salah, namun sudah pasti dari kejadian terdahulu ada beberapa pihak yang memang sengaja memanfaatkan situasi tersebut.
Bagi saya hal ini bukanlah yang seharusnya terjadi, pada masa kini memang hal tersebut sudah tidak begitu mencolok. Sudah banyak perbaikan hubungan antara kaum pribumi dan non pribumi yang dimaksud tersebut. Pasalnya mereka sudah berpikir lebih cerdas dan luas serta sudah berpikir secara modern juga.
Penduduk lokal atau asli Indonesia memang benar ada, buktinya adalah bagaimana Indonesia terbagi atas beberapa suku yang ada di beberapa kepulauan yang ada di Indonesia. Namun bukan berarti etnis tionghoa bukan merupakan penduduk Indonesia juga. Memang asal mereka buka dari bagian negara kita, bukan penduduk salah satu suku yang ada di Indonesia. Namun mereka sudah mendeklarasian dirinya menjadi bagian dan menjadi warga negara Indonesia. Hal tersebut sudahlah cukup untuk membuktikan bahwa mereka benar ingin menjadi bagian dari Indonesia. Tidak lagi masanya sebenarnya menyebut-nyebut ada bagian atau group pribumi dan non pribumi.
Siapakah Pribumi dan Non-pribumi
Dari KBBI, pribumi adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara tersebut berada. Jadi, anak dari orang tua yang lahir dan berkembang di Indonesia adalah orang pribumi, meskipun sang kakek-nenek adalah orang asing.
Namun pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai istilah pribumi dan non-pribumi adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan warna kulit mereka.
Selain warna kulit, sebagian besar masyarakat mendefinisikan sendiri (melalui informasi luar) berdasarkan budaya dan agama. Sehingga jika penduduk Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai non pribumi, maka penduduk Indonesia keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap sebagai pribumi.
“Embrio” Pribumi dan Non-pribumi
Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll) berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926.  Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu  beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.
Setelah pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali “terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat bangsa.
Inilah mengapa,  diera orde baru, konflik horizontal antara penduduk miskin (disebut  dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan namun erpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di tahun 1998. Namun sangat disayangkan, hanya segelintir kelompok si kaya – “non-pribumi” yang kena getahnya. Massa kepalang berpikiran semua orang keturunan adalah non-pribumi, sehingga gerakan mereka ibarat “menembak burung di angkasa raya, namun sapi di sawah yang mati”. Burung (penguasa, penghianat, si-kaya) masih beterbangan di angkasa Indonesia, Singapura, dan Amerika.  Hingga saat ini, pemerintah hanya dapat menonton “burung-burung” tersebut beterbangan bebas……Yang tewas adalah rakyat miskin dan jelata.
Pribumi dan Non-pribumi Vs Patriot dan Penghianat
Sebagai warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita wajib menyadarkan sesama kita – bangsa kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, pemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman hegomoni asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional company. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Karena istilah pribumi dan non-pribumi diciptakan oleh penjajah dan penguasa yang kejam, sudah saatnya kita harus meninggalkan istilah tersebut. Kekuatan rakyat harus menciptakan sendiri istilah yang baru, yakni “patriot” dan “penghianat”. Seorang patriot adalah yang memperjuangkan negara dan tanah airnya demi kesejahteraan dan kemandirian bangsa. Untuk itu kita dukung perjuangan para patriot tersebut saat ini. Sedangkan golongan kedua adalah penghianat, mereka yang merusak bangsa kita demi kepentingan pribadi ataupun golongan dengan menghancurkan kepentingan bangsa dan negara. Mereka yang mengobral aset bangsa, kebijakan pro-konglomerasi, dan memakan uang rakyat serta membangun dinasti keluarga di pemerintahan, legislatif maupun penegak hukum. Kita perlu memata-matai tindak tanduk mereka, dan memperjuangkan hukum untuk mengadili para penghianat tersebut.
Tentunya gerakan reformasi rakyat untuk melawan penghianat dan penjajah baru  ini bukanlah dengan revolusi berdarah,  tapi dapat dilakukan dengan reformasi rakyat terutama dari pemimpin pemerintah, penegak hukum, serta mereformasi badan legislatif yang masih lemah. Dan tidak kalah penting adalah sistem edukasi di lembaga pendidikan.  Untuk itu, diharapkan para tokoh bangsa turut mengawasi para penguasa di negeri ini, serta edukasi masyarakat untuk memilih pemimpin yang patriot, bukan pemimpin sekadar populer.
Berakhirnya Diskriminasi Secara Konstitusi
Setelah era reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia berusaha mengangkat kembali kekuatan persatuan dengan menghilangkan diskriminasi perusak bangsa. Reformasi birokrasi yang menghasilkan sedikit perubahan dalam mengurangi praktik pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan agama.  Maka disusunlah UU Kewarganegaran serta menghilangkan secara hukum diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan etnis minoritas di era Gusdur.
Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang embel-embel pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis. Yang diberlakukan saat ini adalah warga negara.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006 (diambil sebagian) adalah:
·         Seorang yang lahir dari perkawinan yang  sah dari  ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI  dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
·         anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
·         Orang  asing  yang  telah  berjasa  kepada  negara  Republik  Indonesia  atau  dengan  alasan  kepentingan  negara  (diberikan oleh  Presiden  dan pertimbangan  DPR RI

 #dari berbagai sumber