Gunadarma BAAK News

Minggu, 25 Desember 2011

LOLOS MENJADI ANGGOTA MUDA

Tanggal 18 Desember 2011 lalu saya mengikuti penutupan diksar (pendidikan dasar) Paduan Suara Swara Darmagita. Setelah dua bulan lamanya mengikuti pendidikan dasar sebagai calon anggota muda, akhirnya tibalah saatnya saya dan teman-teman dilantik secara resmi menjadi anggota muda. Bukan lagi calon, namun sudah menjadi anggota muda. Setelah mengikuti banyak latihan dan dipilih serta diseleksi oleh para kakak pendamping, tersisalah sekitar 80 orang yang masuk dalam anggota muda.

Swara Darmagita adalah salah satu UKM yang resmi dimiliki oleh Universitas Gunadarma. Memang proses untuk menjadi anggota cukup lama. Kami sebagai anggota muda harus mengikuti semua prosesi dari awal sampai akhir dengan sabar. Butuh komitmen dan kesabaran untuk mau terus berlatih supaya bisa menjadi anggota.

LARANGAN PLAGIATISME, SUDAHKAH DIJALANKAN??

Mencontek mungkin memang sudah akrab benar kata itu ditelinga kita. Pertanyaan mendasarnya, bagaimanakah kita menanggapi hal tersebut? Tidak mudah memang menghindari hal demikian. Larangan mencontek sudah pasti dijalankan oleh semua instansi yang berkaitan dengan pendidikan. Di kampus kita pun juga dengan jelas bahwa kegiatan mencontek atau plagiatisme dilarang keras di kampus kita. Namun menanggapi hal tersebut, kira-kira sudahkah masyarakat kampus kita menjalani hal tersebut. Sudahkah kita semua menghindari tindakan mencontek atau plagiatisme.

Sangat disayangkan rupanya, bahwa kekritisan sebagai mahasiswa tentang hal tersebut masih sangat minim. Mereka masih banyak yang melakukan hal tersebut, mencontek dalam hal ini untuk kepentingan pribadi mereka. Bukankah seharusnya kita belajar untuk dapat tidak melakukan hal tersebut? Bukankah ketika kita sudah menyanggupi menjadi mahasiswa sudah seharusnya kita belajar untuk lebih dewasa menanggapi hal tersebut. Belajar pula untuk bisa mengubah kebiasaan buruk terdahulu kita yaitu pada masa SMA, salah satunya adalah mencontek.

Menurut saya tindakan mencontek tersebut sungguh sangat tidak terpuji, sungguh tindakan yang merugikan orang lain pula. Ketika seseorang mencontek atau bahkan sampai memaksa mencontek pekerjaan orang lain, itu berarti orang yang mencontek tersebut tidak bisa menghargai hasil kerja atau karya orang lain. Miris bukan ketika ada seorang mahasiswa yang ketika ujian bukannya mempersiapkan diri dengan baik supaya sukses untuk ujian mata kuliah tersebut, malah sibuk memikirkan untuk membuat contekan atau sibuk memikirkan bagaimana supaya bisa mencontek ketika di ruangan ujian. Dari kasus tersebut, berarti dia sendiri sudah tidak percaya lagi akan kemampuan dirinya untuk bisa dan berusaha untuk menjalani ujian tersebut. Dia bergantung pada contekan dan teman lainnya untuk memberikan dia contekan. Sama sekali tidak ada rasa menghargai atas usaha temannya yang sudah susah payah belajar supaya bisa mengikuti ujian. Dengan gampang dan tanpa rasa bersalah malah mencontek.

Ketika itu semua akrab terjadi, maka pertanyaan besar bagi saya adalah lalu apakah penghargaan untuk seseorang yang sudah berjuang begitu tekun untuk mendapatkan yang terbaik? Apakah bedanya dengan mereka yang mencontek? Ketika hasil ujian mereka (dalam kasus yang tadi) sama, maka apakah bedanya mereka yang belajar sungguh-sungguh dengan si tukang contek? Tak ada bedanya. Bagi saya penghargaan bukanlah dan tidaklah harus berupa piagam dan lain sebagainya, namun apresiasi berupa nilai murni atas hasil usaha masing-masing juga merupakan penghargaan yang begitu berharga.

Maka dari itu semua, sudah seharusnyalah kita sebagai mahasisa yang katanya harus bersikap kritis menentang hal tersebut. Menentang perilaku mencontek akan memperbaiki banyak keadaan yang sudah cukup buruk saat ini. Akreditasi A hanyalah sebuah status sampah apabila orang didalamnya tidak dapat menjaga kredibilitas status tersebut. Semoga artikel yang saya buat ini dapat membuka mata pembaca sekalian J

Senin, 12 Desember 2011

SINOPSIS

AZAB DAN SENGSARA

(Karya : Merari Siregar)


Berceritakan tentang seorang gadis yang bernama Mariamin atau akrab dipanggil dengan nama Riam. Sosok Riam digambarkan sebagai seorang perempuan yang begitu sabar, baik hati, jiwa penolong yang selalu bergejolak dalam hatinya.

Riam memiliki seorang ibu yang juga sangat baik hati dan sabar, mengajarkan dia banyak hal tentang berbagai nilai kehidupan yang baik. Riam juga memiliki satu orang adik, yang tak kalah patuhnya pada orang tua.

Disini Riam adalah sosok yang terkena berbagai macam cobaan hidup akibat dari perbuatan pendahulunya silam. Bermula dari salah asuh yang dilakukan oleh ibu dari ayahnya Riam, atau dalam silsilah keluarga disebut dengan nenek nya Riam. Salah asuh neneknya Riam membuat ayah Riam memiliki perilaku yang sangat buruk. Angkuh, sombong, serakah, kasar tercipta dalam diri ayah Riam. Sedari kecil terbiasa dimanja dan dituruti semuanya.

Masalah demi masalah terjadi pada diri Riam semenjak ayahnya jatuh miskin akibat perbuatannya sendiri. Ego ayah Riam yang mau menguasai warisan dari neneknya, menjatuhkan dia. Tidak mau dia berbagi dengan saudaranya yang sudah baik hati mau berbagi. Perselisihan tersebut membawa bangkrut pada ayah Riam, karena dia kalah dalam kasus tersebut.

Penderitaan Riam makin bertambah semenjak ayahnya meninggal. Ibunya yang harus banting tulang bekerja, Riam juga harus melakukan hal yang sama. Akibat kemiskinanna pula dia kehilangan Amminuddin. Pria dambaannya yang sedari kecil bersahabat dengan Riam. Kepergian Amminuddin ke kota untuk mencari kerja membuat jarak diantara mereka semakin jauh pula. Amminuddin sangat mencintai Riam pula, namun apa daya orang tua Amminuddin tak mengijinkannya untuk menikah dengan Riam. Alasan kemiskinan dan juga kepercayaan pada dukun menurut adat yang mengatakan bahwa Amminuddin akan meninggal jika menikah dengan Riam.

Kehidupan Riam semakin hari tidak semakin baik, justru semakin menjadi-jadi peliknya. Apalagi ditambah dengan dia harus menikah dengan seorang pria tak dikenal yang dipilihkan oleh ibunya. Ibunya bukannya memaksa Riam, namun akan jelek jadinya apabila seorang gadis tak juga dinikahkan menurut adat kampung sana.

Ternyata suaminya adalah tukang siksa, tak juga Riam mengambil hatinya, padahal sikap Riam sudah begitu manis dan sabarnya. Semenjak menikah Riam tinggal di kota, sama dengan Amminuddin. Pertemuan pertama dan terakhir mereka di rumah Riam merupakan pertemuan yang begitu memilukan. Pernikahan yang sama – sama tak diinginkan oleh keduanya. Sekalipun sekarang orang tua Amminuddin menyesal telah menolak Riam, namun apa daya semua telah terjadi.

Penyiksaan yang dilakukan suami Riam semakin menjadi-jadi, sampai akhirnya Riam memberanian diri untuk kabur dan melapor pada polisi setempat. Akhirnya suaminya yang jahat itu jeralah pula. Riam kembali ke kampung halamannya, dengan segenap pilu yang ada padanya. Sampai pada kematian yang merengut jiwanya, itulah akhir penderitaannya. Gundukan tanah basah yang masih baru di kampung halamannya itulah rumah terakhir bagi Riam. Diakhir cerita pun tak seorang pun tau dimana keluarganya yang lain, gubuk tua dekat sungai itupun sudah tak berpenghuni.